Kajian Filosofis Sosiologi Hukum (Metode Transendental)
Oleh: Muhammad Susanto
Kajian ini lebih menitik beratkan kepada seperangkat nilai-nilai ideal. Yang seyogyanya menjadi rujukan dalam setiap pembentukan, pengaturan dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian ini juga lebih diperankan oleh kajian filsafat hukum atau law in ideas.
Kajian filosofis ada dalam kajian hukum, karena studi hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang sifatnya otonom, melainkan sebagai bagian dari studi filsafat. Filsafat hukum memusatkan tupoksinya kepada pertanyaan-pertanyaan filosofis dari hukum, mempersoalkan hukum dan keadilan, hukum dan keabsahan, hukum dan kekuasaan.
Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat umum, oleh karena itu untuk mengetahui filsafat hukum, secara umum harus mengerti atau paham apa itu yang dinamakan filsafat.
Filsafat adalah suatu pendasaran diri yang paling fundamental dan perenungan diri secara radikal. Mencoba untuk merefleksi tentang segala hal yang ada, tentang hal ada dalam keumumannya.
Tujuan utama kajian filosofis ini adalah ingin memahami secara mendalam hakikat dari hukum. karena itu, filsafat hukum mengandaikan teori pengetahuan (epistimologi) dan etika. Adapun aliran-aliran dari kajian ini antara lain:
A. Hukum Kodrat
Merupakan aliran terpenting dalam filsafat hukum sejak permulaan. Pada zaman Yunani, Hukum Kodrat ini diterangkan oleh Aristoteles. Pada dasarnya, secara alamiah seharusnya sudah berlaku hukum, terlepas fakta ‘’Apakah manusia telah menetapkannya atau belum’’. Oleh para penganut mazhab Stoa Romawi, Hukum Kodrat ini ditempatkan dalam suatu perspektif rasionalistik.
Dalam konsepsi hukum kodrat klasik oleh Thomas Aquinas, ia membagi asas-asas hukum kodrat menjadi dua bagian:
- Principia Prima, asas-asas yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir yang bersifat mutlak dan tidak dapat diasingkan darinya. Dikarenakan sedemikian mutlak (ketentuan Tuhan), Principia Prima ini tidak dapat berubah dimanapun dan dalam keadaan apapun.
- Pricipia Secundaria, asas yang diturunkan dari Principia Prima, tidak berlaku mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu atau bersifat zamani, dikarenakan Principia Secundaria ini merupakan penafsiran secara kontekstual manusia terhadap Principia Prima (ketentuan Tuhan).
B. Idealisme
Menurut Imannuel Kant, gejala-gejala etika dan hukum harus dipahami dari sudut yang sama. Untuk itu, Kant mencari aturan-aturan atau asas-asas Apriori, yakni yang tidak bertumpu pada pengalaman dan dapat menjadi suatu pedoman yang mengikat bagi perilaku kita atau sifat Primodialis.
Oleh karena itu, Kant Menkonstalasikan atau mencari pendapat yang sama dan merumuskan apa yang dinamakan Faktum der Vernunft, yaitu pengalaman yang ada di dalam diri kita sendiri dengan gejala wajib yang dust sollt (harus ada), dengan kata lain yaitu fakta dari alasan.
C. Marxisme
Seperti kata Marx "Dialektika tidak berlangsung dalam alam pikiran (yang dalam kenyataan dibuat menjadi dapat dimengerti), akan tetapi berlangsung dalam kenyataan itu sendiri". Pada analisis di atas, yaitu tentang kenyataan yang menunjukkan bahwasanya karya manusia memainkan peranan penting yang sentral. Karya manusia berada dalam suatu hubungan praktikal terhadap alam, yang didalamnya alam diubah bentuknya dan dibuat berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Pada diri Marx tidak terdapat pemikiran hukum dan negara sebagai bentuk perwujudan dari kebebasan, akan tetapi terdapat pemikiran bahwa hukum merupakan sarana untuk mempertahankan kekuasaan bagi kaum kapitalis. Di samping itu dia memandang hukum sebagai sarana integrasi yang mendukung ketidaksamaan dan ketidak seimbangan yang ujungnya mengarah pada pertentangan atau konflik antarkelas. Dalam hal ini Marx mengkaji hukum menggunakan pendekatan konflik.
D. Reine Rechtslehre
Hukum dalam pandangan Hans Kelsen, telah diredukasi pada sifatnya yang normatif. Dari perspektif ini, hukum harus dipandang sebagai suatu kaidah yang tersusun secara Hierarkial yang berlandaskan pada suatu Grundnorm. Ini harus dipandang sebagai suatu sudut pandang yang Hipotetikal.
Memahami konsep hukum menurut Hans Kelsen, kita harus memandangnya dengan sebagai stufenbau, yaitu sistem hukum yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang paling tinggi seperti konstitusi harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen, grundnorm bentuknya tidak konkrit atau abstrak. Contoh norma hukum paling dasar dan bentuknya abstrak adalah Pancasila.
Dari uraian di atas mengenai kajian filosofis atau metode transendental yaitu filsafat hukum sebagai disiplin terhadap teori hukum dan juga ilmu hukum. Filsafat hukum juga dapat memberikan penjelasan dan landasan filosofis bagi keberadaan teori hukum dan ilmu hukum.
Baca juga: Hukum Transendental
0 komentar