Mengkaji 'Am dan Khash, Serta Implementasinya dalam Hukum Islam
LAFADZ ‘AM (UMUM)
Pengertian ‘Am
’Am ialah lafadz yang ditetapkan menurut bahasa menunjukkan atau meliputi dan mencakup seluruh afrad yang dapat diterapkan kepadanya makna lafadz itu, tanpa pembatasan jumlah tertentu.
Sangat banyak definisi tentang ‘am oleh para ulama. Bahkan dari beberapa definisi ulama, terlihat rumusan yang berbeda. Dan dari beberapa definisi itu, masing-masing mengandung titik lemah yang menjadi sasaran kritik pihak lain. Namun, dari beberapa rumusan itu dapat ditarik hakikat dari lafadz ‘am yang mencakup jiwa dari setiap rumusan, yaitu:
- Lafadz itu hanya terdiri dari satu pengertian secara tunggal
- Lafadz tunggal itu mengandung beberapa afrad (satuan pengertian).
- Lafadz yang tunggaal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertiannya secara sama dalam penggunaannya.
- Bila hukum berlaku untuk satu lafadz, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap afrad (satuan pengertian) yang tercakup di dalam lafadz itu.
Sighat ‘Am (Macam-macam ‘Am)
Sighat ‘am ialah lafadz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah lafadz tertentu yang digunakan untuk menunjukkan bahwa lafadz bahwa lafadz itu adalah ‘am.
Jumhur ulama fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, dan Zhahiri) berpendapat bahwa untuk menunjukkan “am itu memang ada lafadz tertentu yang mengikutinya, tanpa ada petunjuk dari luar yang menunujukkan keumumannya.
Namun, di kalangan jumhur ulama ini terdapat pula perbedaan pendapat teentang lafadz apa saja yang menunjukkan ‘am itu.
Sighat ‘am ada tujuh:
- Lafadz kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar (artinya seluruhnya). Masing-masing lafadz tersebut meliputi segala hal yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafadz-lafadz itu.
- Isim Istifham, ialah lafadz man (siapa), maa (apa), aina (dimana), ayyun (siapakah), mata (kapan).
- Isim Isyarat, seperti man (barang siapa), maa (apa saja), dan ayyun (yang mana saja).
- Isim Mufrad yang ma’rifat dengan alif lam (al) atau idhafah.
- Jama’ yang dita’rifkan (ma’rifat) dengan alif lam (al) atau idhafah.
- Isim Nakirah yang terletak sesudah nafi.
- Isim Maushul (alladzii, alladziina, allati, allatii).
LAFADZ KHASH (KHUSUS ATAU TERTENTU)
Pengertian Khushush (Al-Khash)
Pengertian khash (khushus) adalah lawan dari pengertian ‘am (umum). Dengan demikian, bila telah memahami pengertian lafadz ‘am, secara tidak langsung juga dapat memahami pengertian lafadz khash.
Khushush adalah lafadz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian, dapat dibedakan aantara khash dengan khushush, meskipun dalam pengertiaan bahasa Indonesia sering disamakan.
Pengertian khash adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafadz. Sedangkan pengertian khushush adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Pengertian yang lain, lafazh khash ialah suatu lafadz yang menunjukkan arti tunggal, yang menggunakan bentuk mufrad (singular), baik pengertian itu menunjukkan pada jenis seperti hayawan, atau menunjukkan macam (kategori) seperti lafazh insan, rajul atau menunjuk arti perorangan seperti Ibrahim dan Zaid.
Bentuk-Bentuk Mukhasshish
Mukhasshish ada dua macam, yaitu:
1. Mukhasshish Muttasil
Mukhasshish yang bersambung adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan, berhubungan erat/bergantung, pada kalimat umum sebelumnya.
Adapun maacam mukhasshish muttasil antara lain:
- Pengecualian
- Syarat (as-Syarth)
- Sifat (as-Shifat)
- Kesudahan (al-ghayah)
- Sebaagai ganti keseluruhan (badalu al-ba’dhi min al-kulli)
2. Mukhasshish Munfashil
Mukhasshish munfashil adalah dalil umum atau makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri, yakni tidak berkumpul tetapi terpisah.
Mukhasshish munfashil ada beberapa macam, yaitu
- Al-Quran di-takhshish dengan Al-Quran
- Al-Quran di-takhshish dengan Sunnah
- Sunnah di-takhshish dengan Al-Quran
- Sunnah di-takhshish dengan Sunnah
- Men-takhshish dengan Qiyas
MENYAMBUNG LAFADZ KHUSUS PADA LAFADZ UMUM
Apakah hukum khushush yang disambungkan kepada hukum ‘am itu men-takhshish dalil ‘am atau tidak? Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama.
- Jumhur ulama berpendapat bahwa dalil khushush yang disambungkan pada dalil ‘am tidak berpengaruh pada dalil ‘am tersebut. Artinya, tidak men-takshish dalil ‘am.
- Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa dalil khushush yang disambungkan kepada dalil ‘am men-takhshish dalil ‘am itu.
AYAT ‘AM YANG SUDAH DI-TAKHSHISH APAKAH MASIH MERUPAKAN DALIL/HUJJAH?
Tidak sedikit lafadz ‘am yang terdapat di dalam Al-Quran maupun Hadits Nabi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana kedudukan lafadz ‘am khususnya yang berkenaan dengan perbuatan yang dapat dihukumi. Ternyata polemik ini mengenai hal ini telah menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh para ulama sejak berabad-abad silam. Di antara pendapat para ulama, yakni:
- Jumhur ulama menyatakan keharusan mencari dalil takhshish terlebih dahulu dan tidak mengamalkan lafadz ‘am sebelum hal tersebut dilakukan. Jika memang tidak ditemukan dalil yang mengkhususkannya, baru wajib mengamalkan lafadz yang ‘am.
- Pendapat lain mengatakan baahwa wajib mengamalkan lafadz ‘am tanpa menunggu adanya penjelasan ataupun takhshish-nya.
CONTOH PENERAPAN KAIDAH ‘AM DAN KHASH DALAM HUKUM ISLAM
Hadits pertama dari Salim bin Abdillah yang berbunyi :
فيما سقت السماء العشر
Artinya: “Tanaman yang dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah sepersepuluh (l0%)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits kedua dari Abi Sa’id yang berbunyi :
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة
Artinya : “Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bentuk pertentangan :
- Hadits pertama riwayat dari Salim mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh lewat siraman air hujan adalah 10% dari hasilnya, baik itu banyak maupun sedikit.
- Hadits kedua riwayat dari Abu Sa’id mengatakan wajib zakatnya apabila telah mencapai 5 wasaq.
Penyelesaian masalah :
Para ulama membagi penyelesaian masalah ini menjadi dua mazhab :
- Mazhab yang pertama mengatakan: dengan menggabungkan kedua hadits ini dan membawa permasalahan kedalam kaidah ‘am dan khash, maka bisa dilihat bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Salim adalah hadits ‘am, sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id adalah hadits khash. Maka digunakan kaidah Takhsis lil ‘am, diperoleh hukum wajib zakat terhadap tanaman itu apabila hasil panennya telah mencapai 5 wasaq. Dan ini merupakan mazhab jumhur dari ulama Syafi’iah, Malikiah, Hanabillah, Zaidiah, Ibadiah, Zhahiriah dan lain sebagainya.
- Mazhab yang kedua mengatakan: condong mengambil tarjih dalam menyelesaikan hadits itu, maka dijelaskan mana hadits yang ‘am, karena hadits yang diriwayatkan Salim itu merupakan hadits yang masyhur dibandingkan hadits Abi Sa’id, karena hadits Abi Sa’id itu khabar ahad. Mereka berkata: sesungguhnya zakat itu wajib dari apa-apa saja hasil yang keluar dari bumi, baik sedikit maupun banyak berdasarkan hadits dari Salim, dan menakwilkan hadits Abi Sa’id yang khash itu, menjadikannya dalam zakat tijarah dan itu merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah. Berkata Imam Syarkhasi, Abu Hanifah mengatakan sesungguhnya mereka pada waktu itu berjual beli dengan ukuran wasaq, sebagaimana tersebut dalam hadits: “5 wasaq itu dua ratus dirham”.
4 komentar
Hadist nya gak nampak gan
BalasHapusKalau pake laptop/pc pc bisa... Saya akan perbaiki lagi gan, thanks..
HapusMantap mang, sekalian hadisnya supaya lebih mudah memahami. Sukses pakde2 macan🤘
BalasHapussebenarnya ada, cuma ada kesalahan html. masih diperbaiki mang
Hapus