Studi Al-Quran dan Hadis Mengenai Tindak Pidana Pemberontakan (Jarimah Al-Baghyu)

by - Maret 23, 2020


Pengertian Al-Baghyu

Al-Baghyu (pemberontakan) secara bahasa berarti melampaui batas, aniaya, atau zalim. Ulama lain mengartikan baghyu secara bahasa berarti mencari atau menuntut sesuatu. Pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maaupun kezaliman.

Pemberontakan menurut KBBI adalah proses, cara, atau pertentangan terhadap kekuasaan yang sah. Pelaku al-baghyu disebut al-baghy, yaitu orang yang menentang pemerintah yang adil dan tidak mau melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.

Secara terminologis, al-baghyu adalah usaha melawan pemerintahan yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan oleh pemerintah.

Pengertian al-baghyu secara istilah dikemukakan para ulama mazhab dengan redaksi yang berbeda.

Setelah melihat beberapa definisi dari beberapa ulama mazhab, dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Pidana Islam pemberontakan adalah suatu tindak pidana yang dilakukan baik secara perseorangan maupun kelompok dengan cara pembangkangan terhadap Imam (pemimpin tertinggi) seperti kepala negara dengan melakukan perlawanan.

Pemberontak adalah sekelompok kaum Muslim yang tidak menaati pemerintah yang sah. Mereka menolak menjalankan kewajiban yang diperintahkan dan memerangi jamaah kaum Muslim yang lain, dengan dalih perbedaan hukum yang mereka pahami dan yakini, mereka mengaku bahwa kebenaran berada di pihaknya dan kekuasaan berada di tangannya. Orang-orang seperti ini wajib diperangi oleh kaum Muslim bersama pemerintah yang adil.

Kemudian definisi pemberontak dalam hukum pidana positif di Indonesia, pemberontak lebih dikenal dengan istilah makar. Di mana kata makar tersebut dapat diartikan sebagai pemberontak atau penyerangan. Makar berasal dari kata aanslag (bahasa Belanda) yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan.

Mengkaji dan Memahami Unsur-Unsur Al-Baghyu Berdasarkan Nash Hadis dan Al-Quran

Dalil-dalil pembahasan al-baghyu adalah dalam al-Quran surah al-Hujurat ayat 9 dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW tentang pemberontakan kepada imam (khalifah).
Di antara ulama ada yang mengumpulkan dalil-dalil hadits ini dalam bab khusus, misalnya Imam ash-Shan’ani mengumpulkannya dalam bab Qitaal Ahl al-Baghiy dalam kitabnya Subulu as-Salam halaman 257-261. Abdul Qadir Audah mengumpulkannya pada alinea (faqrah) ke-659 dalam An-Nushush al-Waridah fi al-Baghiy dalam kitabnya At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islamiy.
Di samping nash-nash syara’, pendefinisian bughat juga dapat mempertimbangkan data tarikh (sejarah) shahabat yang mengalami pemberontakan, seperti sejarah Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam Perang Shiffin dan Perang Jamal. Imam Syafi’i berkata “Saya mengambil (hukum) tentang perang bughat dari Imam Ali. Dalam hal ini telah terdapat ijma’ sahabat mengenai wajibnya memerangi bughat.
Setidaknya, ada tiga unsur-unaur bughat (pemberontakan), yaitu:
1. Pemberontakan Kepada Khalifah atau Imam yang Konstitusional (Al-khuruj ‘ala Al-Khalifah).
Hal ini bisa terjadi misalnya seperti ketidak taatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat.
Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
Artinya:”Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” (QS. Al-Hujurat: 5).
Dalil syarat pertama ini (memberontak kepada imam) adalah pemahaman berdasarkan keumuman ayat ke-9 surah al-Hujurat. Selain itu, syarat pertama ini secara eksplisit ditunjukkan dalam hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Artinya: “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim).
Adapun yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah Islamiyah atau Khilafah). Abdul Qadir Audah menegaskan, “(Yang dimaksud) Imam adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (Ra`is ad-Dawlah al-Islamiyah al-A’la) atau orang yang mewakilinya.
Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat: 9) adalah ayat madaniyah yang berarti turun sesudah Nabi Muhammad SAW. hijrah dan berbicara dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem kenegaraan yang lain. Hadis Nabi SAW. dalam masalah bughat  berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain. Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah, gubernur Syria melawan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah.
Argumen lainnya, banyak hadis yang mewajibkan kaum Muslimin untuk mentaati khalifah atau pemimpin. Di antaranya adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan ‘Abdullah bin Umar sebagai berikut:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Artinya: “Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” (HR. Bukhari).

2. Memiliki Kekuatan yang Terorganisir
Mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang.
Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`ts (keduanya berarti kekuatan). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati.
Unsur kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat: 9) pada lafadz وَإِنْ طَائِفَتَان  (jika dua golongan). Sebab kata طَائِفَةٌ artinya adalah اَلْجَمَاعَةُ (kelompok) dan اَلْفِرْقَةُ (golongan). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan.
Maka dari itu, Taqiyuddin Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar (II/198) ketika membahas syarat “kekuatan”, beliau mengatakan ”Jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afradan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.
3. Niat Melawan Hukum (Qashdi al-Jinay) dengan Senjata.
Tindak pidana pemberontakan disyaratkan adanya niat melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila seorang bermaksud menggunakan kekuatan senjata mematikan untuk menggulingkan khalifah. Apabila tidak ada maksud menggunakan kekuataan senjata mematikan untuk menggulingkan khalifah.
Selain itu, untuk bisa dianggap keluar dari khalifah, disyaratkan ada niat untuk menggulingkan. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembakangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelakunya tidak dianggap sebagai pemberontak.
Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat: 9), yaitu pada lafadz اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا اَلسِّلَاحَ, فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya: “Barangsiapa mengangkat senjata melawan kita, bukanlah termasuk golongan kita
Sanksi Pada Pelaku Jarimah Al-Baghyu
Suatu gerakan anti pemerintah dinyatakan sebagai bughat (pemberontakan) dan harus dihukum sebagaimana ditetapkan dalam surah al-Hujurat ayat ke-9. Adapun hukuman untuk bughat (pemberontak) sebagai berikut:
1. Jika pemberontak tidak mau dinasihati untuk diajak kembali loyal dan patuh kepada pemerintah yang legal, pemerintah harus memerangi pemberontak tersebut sampai kembali ke jalan yang benar
2. Jika pemberontak dapat dinasehati secara baik-baik, mereka harus diberlakukan dengan baik berdasarkan ketentuan yang ada dalam surat al-Hujurat ayat ke-9.
Pengkategorian Al-Baghyu sebagai Tindak Kejahatan Luar Biasa
Di Indonesia, al-baghyu (pemberontakan) dikenal dengan istilah makar. Dan pelaku makar juga dapat diproses secara hukum positif, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pandangan hukum Islam, makar dikategorikan sebagai kejahatan luaar biasa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang sudah tidak taat lagi kepada pemimpin yang sah.
Karena memang dipandang sebagai suatu kejahatan yang serius, bahkan para ulama, baik ulama mazhab dan ulama khalaf (kontemporer)-pun memberikan konsensus argumentatif mengenai kejahatan makar ini, yang pada esensi konklutif-nya melarang kejahatan tindakan makar yang pada esensi konklutif-nya melarang kejahatan tindakan makar yang dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, karena lebih banyak menimbulkan masalah dan kerugian yang besar daripada mendatangkan maanfaatnya. Dan sebagai sanksi untuk pelaku al-baghyu, hukum pidana Islam tegas memberi hukuman mati dan diperangi jika unsur-unsur al-baghyu telah terpenuhi.

You May Also Like

0 komentar

Pages