Korban Kejahatan dalam Perspektif Hukum Pidana
Pengertian Korban Kejahatan
Korban dalam arti “sacrifice” adalah bentuk korban (pengorbanan) yang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat metafisik, supranatural. Misalnya korban dalam upacara keagamaan dan atau sejenisnya, untuk persembahan dewa, pengampunan, penghormatan, penghormatan, ungkapan terima kasih, penebus dosa dan lain-lain.
Obyek korban dalam viktimologi dikenal dengan korban dalam konsep keilmuan, antara lain: korban akibat kejahatan atau perbuatan yang dapat dihukum (victim of crime), korban kecelakaan (victim of accident), korban bencana alam (victim of natural disaster), korban kesewenang-wenangan penguasa atas pelanggaran hak asasi manusia (victim of illegal abuses of public power) maupun korban dari penyalahgunaan kekuasaan di bidang ekonomi (victim of illegal abuses of economic power).
Pengertian korban dalam pembahasan disini adalah untuk sekedar membantu dalam menentukan secara jelas batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang.
Korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun yang mengalami penderitaan juga dapat diklarifikasikan sebagai korban.
Kamus Besar Bhasa Indonesia (Poerwadarminta 1983) mengartikan korban:
- Pemberian untuk menyatakan kebaktian (kerelaan hati dsb);
- Orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu, dsb);
- Orang yang mati;
- Orang yang mati karena menderita kecelakaan, karena tertimpa bencana alam seperti banjir, gempa bumi, dsb.
Korban suatu kejahatan tidaklah harus berupa individu atau perorangan, tetapi bisa berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya. Seperti tumbuhan, hewan atau ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan. Namun, dalam pembahasan ini korban sebagaimana disebut terakhir tidak termasuk di dalamnya.
Secara yuridis, pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan pergertian korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah:
- Setiap orang;
- Mengalami penderitaan fisik dan mental;
- Mengalami kerugian ekonomi;
- Akibat tindak pidana.
Menurut Stanciu, ada dua sifat yang mendasar (melekat) dari korban tersebut, yaitu: suffering (penderitaan) dan injustice (ketidakadilan). Timbulnya korban tidak hanya dapat dipandang sebagai akibat perbuatan yang ilegal, sebab hukum (legal) sebenarnya juga dapat menimbulkan ketidakadilan, selanjutnya menimbulkan korban, seperti korban akibat prosedur hukum.
Di bawah ini adalah macam-macam korban berdasarkan Kongres PBB ketujuh:
- Korban kejahatan konvensional
- Korban non-konvensional
- Korban kejahatan akibat penyalah gunaan kekuasaan (illegal abuses of power) terhadap HAM
Kriteria obyek yang menderita menurut Zvonimir Paul Separovic, adalah sebagai berikut:
- Korban individu;
- Korban kolektif;
- Korban abstrak;
- Korban pada diri sendiri.
Tipologi Korban
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:
- Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal atau menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
- Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
- Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
- Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan diriya menjadi korban.
- False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
Apabila ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri, Stephan Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu:
- Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
- Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dri aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
- Participing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orag untuk merampasnya. Aspek ini pertangungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
- Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) yang merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya.
- Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
- Self victmizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu, pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
- Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.
Selain tipologi yang telah disebut di atas, pengelompokan korban juga dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang. Berikut adalah pengelompokannya:
- Primary victimization yaitu korban berupa individu atau perorangan (bukan kelompok).
- Secondary victimization yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
- Tertiary victimization yaitu korban masyarakat luas.
- Mutual victimizationang yaitu korban si pelaku sendiri. Misalnya pelacuran, perzinaan, narkotika
- No victimization yaitu korban yang tidak dapat diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
Kerugian dan Penderitaan Korban
Seperti yang telah disinggung di atas, korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik dan mental, serta mengalami kerugian ekonomi. Lebih jelasnya, berikut penjabaran dari kerugian dan penderitaan korban:
- Korban biasanya menderita secara fisik dan emosional setelah tindak pidana. Ada yang perlu perawatan medis, kebanyakan memerlukan dukungan emosional. Peran teman atau keluarga sangat berarti di sini.
- Jumlah korban yang mengemukakan kerugian keuangan mereka (yang tidak memiliki kartu jaminan sosial) hanya sedikit. Pengaruh ini baru muncul setelah beberapa bulan.
- Di lain pihak, pengaruh mental, fisik dan pengaruh keluarga dan lingkungan sosial akan memberatkan bagi korban. Mereka merasakan hal ini sangat berat. Beberapa dari mereka mengharap dukungan dari kelompok penyantun dan pendukung korban.
- Dalam kaitannya dengan sistem hukum pidana dan sumber kompensi korban mengharapkan adanya informasi dan kemajuan pada kasus mereka.
Baca juga: Substansi Hukum Perancis
0 komentar