Tafsir bi al-Ma'tsur dan Tafsir bi al-Ra'yi

by - Februari 22, 2020


Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk untuk umat manusia. Bahkan al-Quran juga semestinya menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia Muslim atau tidak. Selain sebagai petunjuk, al-Quran juga menjadi penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil.

Berkedudukan sebagai petunjuk hidup, maka al-Quran harus dipahami oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat yang namanya Ilmu Tafsir.

Tafsir berarti menjelaskan makna ayat al-Quran, keadaan, kisah, dan sebab turunnya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada makna zhahir. Secara simple, Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir itu kepada “Penjelasan Kalam Allah, atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Quran dan pengertian-pengertiannya”.

Ilmu tafsir itulah yang bisa dipakai untuk menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran, mengingat al-Quran diturunkan selain dengan gaya bahasa yang sangat tinggi, juga terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih.

Artikel ini akan menjelaskan tentang pengertian, batasan dan metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an yang diklasifikasikan dalam dua metode, bi al ma’tsur dan bi al-ra’yi.

Tafsir Bi al-Ma’tsur

Tafsir bi al-ma'tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan yang shahih menurut urutan penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, dengan As-Sunnah, dengan perkataan para sahabat, dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi'in.

Perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir bi al-ma'tsur sedikit sekali dan hanya berkisar pada dua hal. Pertama, perbedaan redaksi sebuah kata yang menunjukkan maksud yang berbeda tetapi maksud akhirnya sama. Misalnya kata sirathal mustaqim ada yang menafsirkan dengan Al-Quran sedangkan yang lain dengan Islam. Pada dasarnya keduanya adalah sama. Karena panduan Islam adalah Al-Quran.

Kedua, mufassir menafsirkan kata-kata yang sebagian makna dari sekian banyak macamnya. Terkadang perbedaan itu pada hal yang tidak berguna dan tidak perlu diketahui yaitu informasi yang datangnya dari cerita Isra'illiyat. Seperti nama Ashabul Kahfi, warna anjingnya dan jumlah mereka. Juga perselisihan tentang ukuran kapal Nabi Nuh AS. dan jenis kayu yang dipakai. Oleh karena itu, sebaiknya cerita Isra'illiyat ini tidak dimasukkan dalam tafsir bil ma'tsur.

Tafsir bi al-ma'tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dan ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami Al-Quran. Tafsir yang dapat disaksikan kesahihannya, yakni tafsir yang didasarkan pada ilmu (al-'ilm) adalah tafsir yang dapat ditetapkan bahwa nabi sendiri atau sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran hal itu telah menjelaskannya dengan penjelasan makna al-Quran dan dalalah-nya (tafsir bi al-ma'tsur).

Karena sudah sangat jelas, nabi sendiri seringkali ditanya tentang makna kosakata dan ayat-ayat al-Quran, lantas beliau menjelaskan hal itu semua. Demikianlah beliau tidak menafsirkan ayat-ayat tersebut dari pendapatnya sendiri, tetapi beliau menerima tafsirnya dari malakikat Jibril yang mengajarkan kepada beliau dengan nama Allah (dengan riwayat dari Allah)."
Contoh al-tafsir bi al-ma’tsur
1. Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran
Contoh:
a. Penafsiran Al-Quran dari firman Allah
( احلت لكم بهيمة الا نعام الا ما يتلى عليكم (المائدة   
Artinya:
“... Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali yang akan disebutkan kepadamu ...” (QS. Al-Maidah: 1)
Dijelaskan oleh firman Allah:
حرمت عليكم الميتة والد م ولحم الخنزير وما اهل لغيرالله (المائدة
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah ...”.(QS. Al-Maidah: 3).
b. Firman Allah:
(والسماء والطارق (الطارق
Artinya:
“Demi langit dan yang datang pada malam hari”.(QS. At-Thariq: 1)
Kata At-Thariq dijelaskan dengan firman-Nya lebih lanjut pada surat itu pula:
النجم الثا قب (الطرق:   )
Artinya:
“(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus”. (QS. At-Thariq: 3)

2. Tafsir Al-quran dengan Sunah
Contoh Sunah Rasul yang berfungsi sebagai tafsir dan penjelasan Al-Quran.
a. Rasulullah Saw menjelaskan “zalim dengan syirik” dalam firman Allah:
الذين امنوا ولم يلبسوا ايمانهم بظلم اولئك لهم الامن وهم مهتزون (الانعام 
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS. Al-An’am: 82)

b. Rasulullah mengatakan penafsiran ini dengan firman Allah:
(ان الشرك لظلم عظيم (لقمان
Artinya:
“Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.”(QS. Luqman: 13)

3. Tafsir Sahabat
Tafsir sahabat juga termasuk yang muktamad (dapat dijadikan pegangan) dan dapat diterima, karena para sahabat pernah berkumpul dan bertemu dengan Nabi Saw, dan mereka mengambil sumbernya yang asli dan telah menyaksikan turunnya wahyu dan turunnya Al-qur’an, serta mengetahui asbabun nuzul. Mereka mempunyai tabiat jiwa yang murni, fitrah yang lurus dan berkedudukan tinggi dalam hal kefasihan dan kejelasan berbicara mereka memiliki kemampuan dalam memahami Kalam Allah. Dan hal lain yang ada pada mereka tentang rahasia-rahasia Al-Quran sudah tentu melebihi orang lain.
 Al-Hakim berkata, “kedudukan tafsir sahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Quran adalah marfu’. Tafsir tersebut mempunyai kedudukan sebagaimana kedudukan hadis Nabi yang silsilahnya sampai kepada Nabi. Karena itu tafsir sahabat termasuk ma’tsur.”
Adapun tentang kedudukan tafsir tabi’in, ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa tafsir tabi’in itu termasuk tafsir ma’tsur karena sebagian besar pengambilannya secara umum dari sahabat. Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir tabi’in termasuk tafsir dengan ra’yu atau akal, dengan pengertian bahwa kedudukannya sama dengan kedudukan para mufassir lainnya (selain Nabi dan Sahabat). Mereka menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab tidak berdasarkan pertimbangan dari atsar (hadis).

B. Tafsir bi al-Ra’y
Tafsir bi al-Ra'y Tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problem penafsiran seperti asbab al-nuzul, al-nasikh wa al mansukh dan sebagainya. 
Terdapat beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh mufassir terkait dengan keabsahan dalam melakukan penfasiran al-Qur'an dengan pendekatan ra'yu. Syarat-syarat itu antara lain :
1. Mempunyai keyakinan yang lurus dan memegang teguh ketentuan agama. 
2. Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas semata-mata untuk taqarrub kepada Allah.
Bersandar pada naql pada Nabi 
3. Muhammad SAW dan para sahabat, serta menjauhi bid'ah.
4. Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorangs ulum al-Qur'an. mufassir, yaitu seputar ilmu tata bahasa dan ulum al-Qur’an.

Di samping svarat-svarat di atas ada beberapa sikap yang harus dijauhi oleh mufassir bi al-ra'yi agar selamat dari kesalahan dan tidak termasuk mufassir bi al-ra'yi yang tercela. Sikap yang harus dijauhi yaitu : 
1. Menjelaskan maksud Allah dengan tanpa memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai seorang mufassir.
2. Mencampuri hal-hal yang merupakan hak Allah untuk mengetahuinya, seperti ayat mutasyabihat.
3. Melakukan penafsiran seiring dengan dorongan nafsu dan interest pribadi.
4. Menafsirkan al-Qur'an untuk mendukung madzhab yang tercela sehingga al-Qur'an dipaksa untuk melegitimasi kepentingan madzhab tercela tersbut.
5. Menafsirkan al-Qur'an dengan memastikan demikian kehendak Allah tanpa ada dalil yang mendukung penafsiran semacam itu.

Pendapat para ulama tentang Tafsir al-Matsur ialah seperti Imam Qurtubi yang mengatakan dalam mukaddimah tafsirnyaAl-jami’ li Ahkamil Qur’an bahwa hadis Ibnu Abbas tersebut memiliki dua penafsiran.
Pertama : Barang siapa yang berpendapat dalam persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak didasarkan pengetahuan dari mazhab sahabat atau tabi’in berarti menantang Allah.
Kedua    : Barang siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an dengan suatu pendapat, sedangkan ia mengetahui bahwa yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia harus bersedia menempatkan diri di neraka.
Ibnu Athiyah mengatakan bahwa “Bila seseorang ditanya tentang satu makna dari kitab Allah kemudian ia menjawab berdasarkan ra’yu nya tanpa memandang pendapat yang telah dikatakan ulama dan ketentuan-ketentuan tentang ilmu Al-Qur’an, seperti nahwu dan ushul, dan pengertian itu tidak termasuk ahli bahasa menafsirkan secara bahasanya, ahli nahwu secara nahwunya, ahli fiqih menafsirkan secara hukumnya dan masing-masing mengatakan berdasarkan ijtihadnya yang berdasarkan kaidah ilmu dan bidangnya, maka ia bukanlah berpendapat semata-mata menurut pendapatnya atau ra’yu-nya.

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Tafsir yang dapat disaksikan kesahihannya, yakni tafsir yang didasarkan pada "ilmu" (al- Tlm) adalah tafsir yang dapat ditetapkan bahwa nabi sendiri atau saha- batnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran hal itu telah menjelaskannya dengan penjelasan makna al-Quran dan dalalah- nya (tafsir bi al-ma'tsur)." Tafsir bil Ma'sur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan yang shahih menurut urutan penafsiran Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, dengan As-Sunnah, dengan perkataan para shahabat, dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi 'in.
Tafsir bi al-Ra'y Tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problem penafsiran seperti asbab al-nuzul, al-nasikh wa al mansukh dan sebagainya. 
Pendapat para ulama tentang Tafsir al-Matsur ialah seperti Imam Qurtubi yang mengatakan dalam mukaddimah tafsirnyaAl-jami’ li Ahkamil Qur’an bahwa hadis Ibnu Abbas tersebut memiliki dua penafsiran. Ibnu Athiyah mengatakan bahwa “Bila seseorang ditanya tentang satu makna dari kitab Allah kemudian ia menjawab berdasarkan ra’yu nya tanpa memandang pendapat yang telah dikatakan ulama dan ketentuan-ketentuan tentang ilmu Al-Qur’an.

Dhia Ayu Khotimah
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Jurusan Hukum Pidana Islam

You May Also Like

4 komentar

Pages