Sistem atau Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

by - April 10, 2020


Oleh: Rosyina Fauziyah

Di artikel sebelumnya yang mempelajari tentang "Hukum Pembuktian dan Macam-Macam Alat Bukti", disebutkan secara singkat mengenai pengertian pembuktian dan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana.

Lebih lanjut, kita juga harus memahami berbagai pembahasan dari hukum pembuktian ini, yaitu sistem atau teori pembuktian.

Adapun sistem atau teori pembuktian secara umum terbagi menjadi Empat teori, yaitu sebagai berikut :

1. Berdasar Undang-Undang  Secara Positif (Positif Wettelijke Bewij Theorie)
Teori ini dikatakan "secara positif" karena hanya selalu didasarkan pada Undang-Undang, artinya jika suatu perbuatan telah terbukti sesuai alat-alat yang disebutkan dalam Undang-Undang, maka keyakinan hakim tidak diperlakukan lagi. Jadi sistem pembuktian ini sering disebut juga teori pembuktian formal (formale bewijstheori).

Menurut Simons,  bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang positif adalah untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras. 
Adapun menurut Wirjono Prodjodikoro menyatakan tentang teori ini bahwa teori ini selayaknya sudah tidak dianut lagi di Indonesia, karena katanya bagaimanapun hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu,  lagi pula kebenaran seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.

Untuk lebih jelasnya dapat dicontohkan, misalnya suatu peraturan yang menetapkan bahwa, apabila ada dua orang saksi yang telah disumpah dan mengatakan kesalahan terdakwa, maka hakim harus menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa, walaupun hakim itu berkeyakinan bahwa terdakwa adalah tidak salah dan sebaliknya apabila dua orang saksi tidak terpenuhi, maka hakim membebaskan terdakwa dari tuntutan, walaupun hakim berkeyakinan, bahwa terdakwa lah yang bersalah. 

Dengan demikian, menurut teori ini, bahwa "bersalah atau tidak nya tergantung sepenuhnya kepada alat-alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sedangkan keyakinan hakim harus dikesampingkan". Teori ini berkembang pada abad pertengahan dan sekarang ini sudah ditinggalkan, artinya teori ini tidak dianut lagi untuk diterapkan lagi di Indonesia. 

2. Berdasar Keyakinan Hakim Melulu (Conviction Intivie)

Hal yang perlu disadari bahwa alat bukti pengakuan seorang terdakwa tidak harus membuktikan kebenaran kesalahan terdakwa, sehingga pengakuan itupun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu diperlukan bagaimanapun juga adanya keyakinan hakim sendiri untuk memutuskan keasalahan atau tidaknya terdakwa.

Jadi teori sangat sederhana, sebab sama sekali tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian, dan menyerahkan segala sesuatu nya kepada kebijakansanan dan Pendapat  hakim, yang bersifat perseorangan (subjektif). Jadi berdasarkan teori ini,  maka cukuplah, bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan  (bloot gemeodelijke overtuiging, conviction in time). Dalam sistem ini,  hakim hanya berdasar atas perasaan belaka dalam menentukan, apakah suatu keadaan atau peristiwa harus dianggap terbukti  atau tidak atas kesalahan terdakwa.

Keberatan terhadap teori ini, ialah bahwa terkandung didalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketepatan kesan-kesan perseorangan belaka dari seorang hakim. Pengawasan terhadap keputusan-putusan hakim seperti ini adalah sukar untuk dilakukan, oleh karena badan pengawas tidak tahu apa pertimbangan-pertimbangan hakim yang menghasilkan pendapat hakim kepada suatu putusan. 

Maka dari itu menurut Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem sekarang tidak dianut di Indonesia oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

3. Berdasar Pembuktian Bebas

Menurut teori ini, alat-alat dan cara pembuktian tidak ditentukan atau terikat dalam undang-undang, namun demkian teori ini mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, tetapi dapat menentukan alat-alat bukti dan cara pembuktian yang yang tidak diatur dalam undang-undang. Jadi dasar putusan hakim tergantung atas keyakinan dan pendapatnya sendiri (subjektif).

Adapun perbedaan antara teori ini dengan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu, yaitu pada teori pembuktian bebas masih diakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian menurut undang-undang, tetapi teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu tidak mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian menurut undang-undang, namun persamaan keduanya berdasar atas keyakinan hakim.

4. Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis

Sebagai jalan tengah, maka muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu, maka menurut teori ini, bahla hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie)  yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.

Sistem atau teori ini disebut juga pembuktian bebas, karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheori).

Sistem atau teori pembuktian ini jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah menjadi dua arah, yaitu:


  1. Pembuktian bersarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisionnee).
  2. Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelike bewijstheori).

Persamaan antara keduanya adalah sama-sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia yang bersalah.

Perbedaan antara keduanya adalah:

  1. Pembuktian berdasar keputusan hakim atas alasan yang logis; berpangkal tolak pada Keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie)  yang logis yang didasarkan pada undang-undang,  tetapi katentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri menurut pilihannya sendiri tentang pembuktian mana yang ia pergunakan. Jadi pangkal tolaknya pada keyakinan hakim, dan dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang.
  2. Pembuktian undang-undang berdasar undang-undang secara negati; berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang,  tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. Jadi pangkal tolaknya pada ketentuan undang-undang, dan dasarnya pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.

Baik HIR atau KUHAP dan Ned. Sv. yang lama dan baru, semuanya menganut sistem atau teori yang berdasar undang-undang secara negatif. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP (pasal 294 HIR), bahwa "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan:

  1. Memang selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. 
  2. Berfaedah jika ada aturan yang mengkikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. 



You May Also Like

0 komentar

Pages