Bisa Nggak Sih Hukum Acara di Pengadilan Nggak Rumit?
Sebelumnya maaf-maaf nih, saya bikin artikel ini pake bahasa gaul ala-ala Mojok.co gitu, secara kita tahu, nggak ada kan aturan dari dosen kalau bikin artikel ini harus pake bahasa baku dengan segala kerumitan dan keilmiahan bahasanya.
Sama juga dengan hukum acara pidana yang rumit dan merupakan peninggalan Mamang Belanda. Perlu dicatat, rumit itu kata saya, opini saya. Makanya, lebih baik sih disederhanain atau disesuain aja dengan kultur orang-orangnya kita.
Kita tahu sendiri, kalau di negeri ini, musyawarah merupakan budaya yang kita banget, syukur-syukur kalau hasil musyawarahnya bisa bikin adem dan diterima oleh kedua belah pihak yang berlawananan dan bersengketa, kan jadi lebih baik. Sengketa disini bukan cuma hal kepidanaan, bisa perdata juga. Ya iyalah, wong sengketa itu urusan perdata.
Ngomong-ngomong musyawarah sebagai jalan keluar yang dirasa baik, kita juga bisa beranggapan kalau musyawarah dengan ngenyampingin acara pidana yang kompeni itu sebagai pengamalan sila ke-4 dari Pancasila. Dan konon katanya, rapat DPR juga musyawarah, konon katanya lho!
Tentang Diskresi dan Ini Itu
Kita sekarang ngomongin tentang hukum pidana, lebih tepatnya hukum acara pidananya. Dimana, setiap perkara pidana pasti ada korban dan pelaku, lalu diadili ke pengadilan dengan segala keribetan protokolnya. Ngomongin pelaku dan korban, dalam kasus pidana, barang tentu, korban adalah yang paling dirugikan, apalagi korban PHP UKT, upss! Misale.
Dalam undang-undang kita dikenal istilah diskresi, artinya keputusan dan/atau tindakan yang diterapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalaan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas. Gitu kata internet.
Kata hukumonline.com, bagi seorang hakim pidana, diskresi itu mengadnung arti upaya hakim memutus suatu perkara pidana untuk lebih mengedepankan keadilan substansif. Oh iya, diskresi juga diatur dalam undang-undang juga kok. Lebih jelasnya, bisa dilihat di Mbah Google, saya nggak sertakan disini karena panjang banget kalau ditulis.
Kata Pak Harun, dosen hukum saya, sebenarnya dalam perkara pidana, lebih baik dilakukan diskresi yang hasilnya nanti tergantung hasil diskresinya, entah adanya penal maupun non-penal.
Bisa dikatakan, kalau diskresi merupakan jalan terbaik dalam menyeleaikan perkara versi saya yang nggak suka ribet.
Intinya begini, saya cuma ingin nyampein, kalau ada alternatif lain yang nggak ribet dalam nyelesain perkara pidana, kenapa nggak dilakuin aja, ya lewat diskresi ini. Ketimbang harus mondar-mandir pengadilan yang menyita biaya dan waktu ikut hukum acara biasanya yang menurut saya Belandakonis banget. Toh diskresi bisa dilakukan orang atau pejabat pemerintahan siapa saja yang memang disitu bidangnya.
Jangan tanyakan seperti apa pejabat atau orang yang bisa melakukan diskresi! Langsung gaskeun berselancar ke internet aja ya!
Kalau saya pengen ambil jalan tengahnya, gimana caranya agar acara pidana atau menyelesaikan perkara pidana nggak ribet, ya nggak usah ada tindak pidana, selesai! Hahaha.
Baca juga: Hukum Progresif
0 komentar