Hukum Progresif
Oleh:
Muhammad Nurul Huda
Hukum Pidana Islam
UIN Walisongo Semarang
******
Menurut Satjipto Rahardjo, dalam bukunya tentang hukum progresif, manusia adalah faktor terciptanya hukum (making law), tetapi pada saat-saat tertentu manusia juga harus berani mendobrak dan mematahkan hukum itu sendiri (breaking law). Hukum sendiri tercipta karena adanya interaksi dalam masyarakat (interaction social), lalu guna menjaga interaksi tersebut agar tetap tercipta ketertiban dan keteraturan, maka hukum hadir diatas masyarakat untuk menjaga kepentingan individu agar tidak diganggu individu lainnya.
Hukum itu tercipta untuk manusia bukannya manusia tercipta untuk hukum, maka tugas hukum adalah untuk melindungi masyarakat, bukan justru membuat masyarakat dipaksa masuk ke dalam hukum. Tapi pada sejatinya, hukum itu sendiri telah cacat sejak ia dilahirkan karena suatu realita dimasukkan menjadi sebuah gagasan dan skema, lalu skema tersebut disusun sedemikian rupa hingga menjadi sebuah kerangka yang ditafsirkan dalam bentuk tulisan dan bahasa.
Maka sejak saat itulah, realita besar atau hal yang mendasari realita itu tidak dapat digambar dan ditulis dalam sebuah kata atau bahasa tersebut. Dan sejak saat itu pulalah, banyak gagasan dan realita tercecer sehingga menjadikan hukum itu sendiri cacat sejak ia dilahirkan.
Berhukum sama dengan bermain bahasa (game language), dimana jika sudah barang tentu ditafsirkan oleh seseorang (personalia) maka selalu ada tafsiran berbeda atau lainnya yang dapat membantahnya, karna sejatinya memang kita tak pernah tau motif orisinil dari maksud yang terkandung dalam hukum itu sendiri.
Tapi Cacatnya, Hukum Adalah Sekumpulan Tulisan di Kertas
Seseorang yang berpikir dengan cara formal-legalistik akan selalu mengandalkan bentuk dan prosedural dari peraturan itu sendiri, tetapi tidak bagi mereka yang berpikir secara sosiolog. Mereka yang berfikir secara sosiolog akan mengutamakan fungsi daripada hukum itu sendiri, sebagai contoh adalah pengadilan. Pengadilan yang seharusnya mudah, menjadi momok yang menakutkan, menjadi sesuatu yang rumit dan menjadi sesuatu yang mahal, serta pengadilan tidak dapat menjadi badan yang transparan. Alhasil, mereka yang mencari keadilan malah justru diberatkan dengan betapa banyak prosedural yang harus mereka penuhi dan mereka cukupi.
Hukum tercipta justru untuk mengabdi kepada bahasa hukum tanda titik koma di dalam hukum, malah menghilangkan dan mengesampingkan perasaan, hati dan nurani sebagai manusia dalam memutus perkara hukum. Memang benar, berhukum berdasarkan kitab dan buku undang-undang menciptakan kepastian hukum, tapi kepastian hukum hanya sebuah alibi dan kamuflase hakim agar mereka tetap dapat menduduki posisinya sebagai hakim dan penegak hukum serta aman dari segala ancaman-ancaman yang tak terduga.
Putusan hakim hanyalah didasarkan pada setumpukkan kertas di atas meja yang harus mereka selesaikan tepat waktu. Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan “beri saya hakim dan jaksa yang berkualitas, maka dengan peraturan yang buruk pun saya akan memberi keputusan yang bagus”.
Ini membuktikan betapa bobroknya sistem hukum dan pengadilan serta aparat penegaknya yang harus senantiasa dengan cepat kita bereskan agar hukum dapat segera melakukan peran dan tugasnya dengan baik.
Dahulu, negara hanya menjadi penjaga malam dan bertindak secara pasif di dalam kehidupan masyarakat, dan individu berhak melakukan sesuatu secara bebas tanpa intervensi dari siapapun termasuk negara. Aliran ini disebut sebagai aliran liberal, tetapi sejak abad ke-19an ada tuntutan dari masyarakat yang meminta negara agar bertindak aktif dan menjalankan fungsinya sebagai welfeare state (negara kesejahteraan), yaitu negara yang ikut aktif mencampuri urusan masyarakat untuk mengadakan kesejahteraan seperti menjamin hak pendidikan, hak kesehatan, dan lain-lain, disini negara dituntut menjalankan fungsinya.
Aliran ini disebut pasca liberal, siklus dan polarisasi dari aliran liberal menuju pasca liberal menimbulkan banyak perubahan salah satunya yaitu terciptanya hukum modern. Hukum modern terus berkembang dari waktu ke waktu, tak pernah stagnan dan selalu relatif mengikuti zaman. Maka dari itu, hukum harus selalu mengikuti pola masyarakat, sekali saja hukum lalai dan menganggap sudah berada pada tahap puncak dan final, maka sejak saat itulah hukum akan mengalami kemunduran.
Hukum modern semestinya dapat bertindak secara progresif untuk dapat menembus dan mendobrak setiap batas demi terciptanya kesejahteraan masyarakat. Karena sejatinya, hukum memang tercipta untuk kesejahteraan masyarakat dan bukan justru hukum bersifat bertindak kering, kaku, dan tandus tak dapat digoyahkan, serta hanya bersandar pada gaya bahasa hukum yang tertuang di dalam kitab undang-undang.
Berbekal pengalaman tersebut, diharapkan hukum progresif tercipta untuk memutus berdasarkan nalar sebagai manusia bukan berdasar gaya dan logika hukum. Prof. Satjipto Rahardjo pernah menuturkan bahwa; Sejak menjadi mahasiswa, para mahasiswa hanya dicekoki hukum yang berdasar kitab dan hanya mengajar cara berhukum yang benar menurut formal-legalistik semata. Maka alhasil, mereka tumbuh menjadi pribadi yang keras dan kaku, ia memberi pesan jika kalian ingin menjadi lawyers maka perbaikilah dulu moral dan budi luhur kalian, karena tanpa moral dan budi luhur yang baik, kita akan terombang-ambing didalam kehidupan berhukum yang tandus, kering, dan keras tersebut.
Baca juga: Sosiologi Hukum
0 komentar